Oleh : Pdt. Jacky Manuputty – Sekum PGI
Warta-gereja.com – Jakarta, Gagasan pencatatan nikah untuk semua agama di Kantor Urusan Agama (KUA) yang dilontarkan Menteri Agama segera memantik polemik di ruang public. Terbentuknya kelompok pro & kon bisa dimengerti, karena gagasan ini dilontarkan tanpa adanya percakapan terlebih dahulu dengan lembaga-lembaga keumatan yang selama ini terlibat langsung dalam peristiwa pernikahan. Cetusan gagasan ini juga belum disertai penjelasan detail mengenai alasan perpindahan pencatatan nikah dari Dukcapil (untuk umat non-Muslim), maupun mekanisme pencatatan nikah di KUA.
Banyak kalangan berpendapat, pencatan nikah non-Muslim di Dukcapil selama ini berlangsung baik-baik saja, mengapa harus dipindahkan? Selain itu, selama ini KUA dianggap sebagai lembaga di bawah Kemenag yang dikhususkan untuk mengatur pernikahan dan perceraian di kalangan umat Islam, serta beberapa fungsi lainnya (9 fungsi) yang berhubungan langsung dengan ikhwal umat Islam. Anggapan ini tak keliru karena secara historis KUA adalah transformasi bentuk dan fungsi dari lembaga kepenghuluan di dalam tradisi Islam.
Gagasan Gus Menag untuk revitalisasi KUA sebagai tempat pencatatan nikah semua agama tentu terdengar menarik dan inklusif, karena KUA yang awalnya diperuntukan secara khusus bagi umat Muslim, kini terbuka bagi umat beragama lainnya. Sekalipun begitu ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan dijelaskan kepada public sehingga tidak menimbulkan silang pendapat dan kekisruhan. Dari pandangan PGI, beberapa hal perlu disampaikan sebagai berikut:
- Selama ini pelayanan administrasi kependudukan (Adminduk), baik berupa data maupun dokumen kependudukan, dikelola oleh Dukcapil. Di antara 23 dokumen kependudukan terdapat Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Pengakuan Anak, dan Akta Pengesahan Anak. “Data dan dokumen kependudukan inilah yang saat ini digunakan oleh lebih dari 6500 lembaga pusat (2024) baik pemerintah atau swasta yang sudah bekerjasama dengan Ditjen Dukcapil untuk berbagai keperluan, terutama untuk permudah pelayanan public”.
- Gus Menag perlu menjelaskan latar belakang pemindahan pencatatan dari Dukcapil ke KUA, karena selama ini dalam tata administrative pemerintahan, seseorang baru dianggap sah pernikahannya apabila ia dapat menunjukan Akte Perkawinannya dari Kantor Catatan Sipil dan bukannya Surat Perkawinan Gereja. Dengan kata lain, melalui Dukcapil sebuah perkawinan dinyatakan sah berdasarkan Undang-Undang
Realitas ini kontradiktif dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah RI No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974. Pasal 2 UU Perkawinan berbunyi: 1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pencatatan dan pengesahan perkawinan di Dukcapil sesungguhnya sejalan dengan pandangan Protestan yang menganggap perkawinan sebagai akta sipil. Gereja hanya memberkati pernikahan yang telah disahkan oleh pemerintah. Pandangan ini berakar pada sejarah panjang perkembangan pemahaman gereja terhadap perkawinan itu sendiri.
- Pada era gereja mula-mula itu, nikah dimengerti sebagai suatu ‘peraturan Allah’ (Kej 2:24; Mat 19:3; ia berlangsung seumur hidup (Mat 19:6); ia mencerminkan hubungan antara kristus dan jemaat-Nya (ef 5:32-33); karena itu ia harus dijunjung tinggi oleh anggota-anggota gereja itu (Ibr 13:4). Tetapi bagaimana caranya anggota-anggota gereja harus melangsungkan pernikahan, Alkitab tidak katakan apa-apa.
- Di abad-abad pertama, gereja melihat pernikahan itu sebagai tindak kemasyarakatan. Artinya sesuai dengan hukum Romawi, Yunani, maupun kebiasaan masyarakat Yahudi yang berlaku saat itu. Dalam hukum Romawi, perkawinan itu sah atau terjadi atas keputusan bersama dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Dalam hal demikian, gereja melalui pemberkatan perkawinan itu memberikan sifat kudus bagi perkawinan itu.
- Selangkah demi selangkah, gereja mulai turut campur ddalam pernikahan anggota-anggotanya. Menurut Ignatius (abad ke-2), pengantin pria dan Wanita harus lebih dahulu meminta pendapat Uskup tentang pernikahan mereka, supaya pernikahan mereka tak berlangsung menurut keinginan-keinginan dunia, tetapi seturut kehendak Allah. Tertullianus (Abad ke-3), campur tangan gereja semakin banyak. Mereka yang mau kawin harus meminta ijin dahulu dari pejabat-pejabat gereja. Sesudah dikabulkan, barulah boleh berlangsung pernikahan mereka dengan jalan peneguhan dan pemberkatan oleh gereja.
- Sejak waktu itu, peneguhan dan pemberkatan dianggap sebagai akta gereja yang resmi. Tanpa peneguhan dan pemberkatan perkawinan anggota-anggota gereja dianggap tidak sah. Dengan jalan demikian, upacara gerejawi berkembang kemudian menjadi ‘misa-nikah.’
- Pada Abad Pertengahan, seiring dengan meluasnya gereja ke Eropa Barat, terjadi perkembangan pada beberapa aspek pernikahan. Masyarakat eropa Barat, seperti halnya masyarakat lainnya, mempunyai adat dan hukumnya sendiri di bidang pernikahan. Menurut mereka, pernikahan bukan hanya suatu bentuk persetujuan antara pria dan Wanita, tetapi antara dua rumahtangga dan dua keluarga. Upacara Jerman mulai dengan pertunangan yang melibatkan keluarga. Praktek pemberian sejumlah uang dari keluarga pria ke keluarga Wanita terjadi saat pertunangan sebagai tanda penyerahan ha katas Wanita itu. Pada abad ke-9 pembayaran uang diganti dengan barang lainnya sebagai alat pengikat pernikahan, di antaranya cincin yang diserahkan pria kepada Wanita. Di kemudian hari ketika posisi Wanita semakin setara, pemberian cincin tidak lagi sepihak, tetapi timbal balik sesuai janji nikah yang diucapkan pria kepada Wanita, dan sebaliknya. Mereka menjadi patner setara yang dihubungkan oleh seorang wali (biasanya ayah), Oleh pengaruh gereja, fungsi wali kemudian diganti oleh seorang pejabat gereja.
- Pada abad ke-13 pengaruh gereja semakin besar, sehingga gereja menuntut bahwa pernikahan anggota-anggotanya harus berlangsung di bawah pimpinan seorang rohaniawan (pejabat gereja). Perkembangan ini memberikan peluang untuk menarik pernikahan ke dalam wewenang gereja dan menggantikan undang-undang pemerintah dengan undang-undang pernikahan gerejawi. Ahli-ahli teologia saat itu mulai mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu sakramen
- Mula-mula istilah sakramen digunakan dalam kaitan dengan pandangan bahwa pernikahan mengiaskan kesatuan Kristus dan Jemaat-Nya, tetapi kemudian pernikahan dianggap sebagai alat anugerah yang disamakan dengan baptisan dan ordonansi (penahbisan pejabat gereja). Konsili Trente (1546) misalnya, bersandar pada tafsir Efesus 5:25, “hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat-Nya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” Dan dihubungkan dengan ayat 32, “Rahasia ini besar, tetapi yang Aku maksudkan ialah hubungan antara Kristus dan jemaat.” Istilah rahasia ini awalnya digunakan dalam arti luas untuk mengatakan bahwa pernikahan bukan hanya hal duniawi, tetapi Gereja Katolik kemudian menafsirkannya secara sempit sebagai alat anugerah.
- Saat itu pernikahan umumnya berlangsung dengan tata cara sebagai berikut: 1) Pertunangan (di rumah Wanita). 2) Pernikahan di kalangan keluarga (dengan seorang wali – ayah), tetapi sejak abad ke-13 di muka seorang imam (pejabat gereja). Menurut hukum gereja saat itu, pemasangan cincin oleh imam ke jari manis pasangan untuk ‘meneguhkan’ pernikahan yang sudah lebih dahulu berlangsung. Jadi imam hanya memberikan suatu bantuan pasif saaja, tetapi di mata jemaat itu adalah suatu akta yang konstitutif. 3) misa-nikah dan pemberkatan dalam Gedung gereja.
- Prosedur di atas menegaskan bahwa pernikahan dan misa-nikah adalah dua akta yang berbeda. Di kemudian hari kedua akta ini makin erat dihubungkan sehingga akhirnya menjadi satu, halmana terapat dalam gereja Katolik Roma maupun dalam formular klasik gereja-gereja Calvinic.
- Di abad petengahan dengan lahirnya ajaran Gereja Katolik Roma tentang perkawinan sebagai sakramen, maka perkawinan itu harus diatur dan diselenggarakan oleh gereja
- Di zaman Reformasi, gereja-gereja reformatoris hanya mengakui dua macam sakramen saja, yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Ini berarti bahwa perkawinan bukan sakramen. Gereja kembali pada pandangan gereja purba yang menganggap perkawinan sebagai masalah sipil. Saat itu urusan pernikahan menjadi hal yang menyita banyak waktu dalam sidang-sidang gereja sehingga gereja merasa perlu meminta kepada pemerintah untuk turut campur tangan dalam soal-soal permikahan. Berdasarkan desakan ini, Pemerintah Belanda mulai Menyusun rupa-rupa aturan untuk pencatatan nikah dan perkawinan (di muka pemerintah) dan di muka gereja, untuk perkawinan hanya di muka pemerintah (bagi orang-orang yang bukan Kristen, dan untuk pernikahan klandestein.
- Gereja mendukung peraturan-peraturan ini, terutama untuk mengatasi kekisruhan pernikahan yang berlangsung hanya dalam rumah anggota-anggota jemaat. Pernikahan harus berlangsung di muka umum, yakni di muka pemerintah dan gereja.
- Gereja-gereja Protestan di Indonesia menganut pendapat Reformasi. Gereja hanya memberkati perkawinan yang sudah sah di hadapan hukum negara, berdasarkan Tata Gereja masing-masing gereja.
Reformasi menolak ajaran yang menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu sakramen. Luther misalnya menulis, bahwa “pernikahan adalah suatu hal lahiriah, suatu hal duniawi, seperti pakaian dan makanan, rumah dan kebun, yang takluk kepada pemerintah”
Sinode-sinode gereja-gereja Calvinis dalam abad ke-16 selalu mendesak pemerintah untuk mengambil sikap tegas di bidang penyusunan UU Permikahan. Voetius, Seorang teolog Belanda pada abad ke-17, berpendapat bahwa peneguhan (confirmation) harus dibedakan dengan pemberkatan (benediction). Peneguhan adalah tugas pemerintah, yang dalam Roma 13 disebut juga sebagai ‘pelayan Allah’, dan pemberkatan adalah tugas gereja.
Pada waktu Napoleon (Revolusi Perancis), semua pernikahan sejak itu diteguhkan oleh pemerintah. Tak ada gereja yang diijinkan melakukan hal itu. Umumnya gereja-gereja setuju dengan Keputusan ini, kecuali gereja Gereformeerd yang tetap mempertahankan peneguhan dalam gereja, karena menurut mereka, urusan pernikahan tidak dapat seluruhnya diserahkan kepada pemerintah.
Gereja Protestan di Indonesia
- Situasi yang berkembang di Eropa mempengaruhi apa yang terjadi di Indonesia, terkait aturan pernikahan. Awalnya pemerintah VOC menyerahkan urusan pernikahan kepada gereja. Setelah Revolusi Perancis, pada awal abad ke-18, pemerintah kembali mengambil alih legitimasi untuk meneguhkan pernikahan bila gereja keberatan untuk melaksanakannya. Pemerintah kemudian menganggap bahwa pemberkatan nikah bukanlah pernikahan lagi, melainkan hanya suatu upacara gerejawi.
- Secara formal peraturan pernikahan orang-orang Kristen Indonesia (pribumi) yang dibuat pemerintah memang agak lunak, tetapi secara esensial tak berbeda dengan peraturan untuk orang-orang Kristen Belanda. Awalnya peraturan itu dibuat untuk orang-orang Kristen di Maluku, namun peraturan itu dirasa tak cukup ketika berbagai badan zending telah berkembang di Indonesia. Akhirnya melalui berbagai percakapan maka pada awal tahun 1933 ditetapkan ordonansi pernikahan baru untuk orang-orang Kristen pribumi di daerah-daerah lainnya.
- Keluarnya ordonansi baru itu tak serta merta menyeragamkan tata cara pernikahan di Indonesia. Gereja-gereja terbelah dalam praktek pernikahan. 1) Ada gereja-gereja yang tetap menganggap pernikahan sebagai skaramental dan karenanya menganggah peneguhan dan pemberkatan nikah sebagai tugas gereja. 2) Ada gereja-gereja yang menganggap pernikahan sebagai semi sacramental. Pernikahan adalah urusan pemerintah dan gereja. Peran gereja di antaranya menetapkan anggota-anggota sidi gereja yang dianggap sah pernikahannya. 3) Ada gereja-gereja yang menganggap bahwa peneguhan nikah sebagai tugas pemerintah, dan pemberkatan nikah sebagai tugas gereja. Tiap-tiap pernikahan yang telah diakui sah oleh pemerintah dapat (bukan harus) diberkati oleh gereja.
- Pandangan ini memantik kesimpangsiuran di kalangan Gereja Protestan ketika keluar UU No.1 1974 tentang perkawinan yang menegaskan bahwa perkawinan adalah sah , apabila dilakukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2a). Beberapa gereja menyiasati untuk tetap melaksanakan pemberkatan setelah pengesahan di Dukcapil, terutama ketika pejabat gereja diangkat pemerintah untuk melayani sebagai pembantu pegawai pencatat perkawinan. Gereja lainnya mengikuti arahan UU perkawinan.
- Banyak warga gereja merespon gagasan Gus Menag dengan rasa curiga bahwa implementasi gagasan ini akan menggerus peran gereja dalam pernikahan warga gereja. Bila disimak gagasan Gus Menag, kecurigaan ini tak berdasar karena peran gereja dalam pastoral dan pemberkatan pernikahan tidak diambil alih oleh negara melalui KUA. Sekalipun demikian, dengan memindahkan pencatatan pernikahan dari Dukcapil ke KUA terkesan bahwa pernikahan, yang dalam pandangan Protestan merupakan akta sipil, akan melulu menjadi urusan agama. Idealnya tidak demikian!
- Banyak hal lain yang harus dikerjakan dan dijelaskan pemerintah, antara lain: Bagaimana sinkronisasi tugas antara Kemenag, Kemendagri, dan Kemenkumham menyangkut perubahan dan implementasi gagasan ini? Bagaimana perubahan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya yang mengakomodir gagasan revitalisasi KUA ini?